KEGIATAN PENGEMBANGAN KEMITRAAN/PENGABDIAN BERBASIS PROGRAM STUDI PROGRAM MAGISTER S2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, PASCASARJANA UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
“KONSEP MODERASI BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM KONTEKS PONDOK PESANTREN”
Oleh :
Dr. KH. Bakroni Latar, S.Pd.I, Lc, MM
(Mudir Pondok Pesantren Daar El Hasanah)
Sepanjang catatan Sejarah bahwa pesantren berdiri sebelum Republik Indonesia berdiri, sehingga ia merupakan pusat pendidikan yang strategis serta sangat mengakar di masyarakat. Para santrinya pun datang dari berbagai latar belakang budaya, sehingga karakter pesantren yang terbentuk sejatinya adalah multikultural.[1]
Moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).[2] Kata moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua pengertian yaitu: pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.[3] Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.[4]
Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, ideologi, budaya, sejarah, dan tujuan.[5] Sedangkan negara adalah organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang melaksanakan tata tertib atas orang-orang di daerah tertentu, dan memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.[6] Jadi berbangsa dan bernegara merupakan suatu konsep atau istilah yang menunjukkan seseorang individu terikat dan atau menjadi bagian dari suatu bangsa dan negara tertentu.[7]
Sementara istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an dan, di mana kata “santri” (Jw: cantrik) berarti murid padepokan, atau murid orang pandai dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan[8]. Bahkan pondok berasal dari Bahasa sunda yang artinya pendek, artinya segala bentuk kegiatan santri yang sifatnya hura-hura dipendekin, lebih disedikitkan, makanya tidak heran para santri dipondok pesantren dilatih serba sedikit atau pendek atau sederhana seperti makan sedikit, mandi ngantri, tidur sedikit, bermain sedikit, semua yang berkaitan dengan hawa nafsu dipesantren ditekan bagaimana caranya menjadi sedikit.
Semua itu dilakukan dipesantren merupakan bentuk konsep pendidikan dari bagian konsep riyadoh dipesantren ataupun melatih diri agar bisa lebih menguasai hawa nafsu para santri dengan harapan agar santri memiliki karakter: tawadu, mandiri, loyal, semangat juang,mementingkan kepentingan orang lain, berjiwa besar, rela berkorban, dan setia terhadap guru/pimpinan. Dengan harapan kedepan agar para santri bisa lebih bersabar dalam berjuang membina umat, mengisi dan menjaga bangsa dan negara tanpa pamrih atas taufik dan hidayah dari Allah SWT.
Selain itu para alim ulama memustak kata santri dalam Bahasa arab terdiri dari 5 huruf yaitu: سنتري huruf tersebut yaitu sin, nun, ta, ro dan ya, dengan masing-masing huruf tersebut memiliki makna tersendiri, س sin artinya سافق الخير yang memiliki makna pelopor kebaikan, ن artinya ناسب العلماء dengan makna penerus para alim ulama, ت artinya تارك المعاص dengan makna meninggalkan maksiat kepada Allah SWT, ر artinya رضى الله dengan makna yang dicari santri adalah ridho nya Allah SWT, kemudian yang terakhir adalah ي yang artinya يقين dengan makna santri harus memiliki keyakinan dalam setiap aspek kehidupan.[9]
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa pondok pesantren adalah sebuah wadah ataupun tempat yang berkah yang dijadikan sebagai pusat penerpaan, pendadaran dan kaderisasi santri agar mereka menjadi pelopor kebaikan dalam setiap aspek kehidupan baik beragama, berbangsa dan bernegara, sebagai penerus perjuangan para alim ulama dengan bekal ilmu, akhlak, ketawaduan dan keyakinan dengan misi utamanya adalah ingin mendapatkan ridho Allah SWT.
Pondok pesantren berperan dalam membentuk lulusan yang memiliki kepribadian amar ma’ruf nahī munkar (mengajak pada kebaikan dan menghindari keburukan) di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan akhlak yang berkarakter Islam bagi para santrinya, menjadi peran utamanya. Oleh karena itu Pesantren merupakan lembaga strategis bagi pengembangan nilainilai Islam moderat yang mengajarkan toleransi, anti kekerasan dan hidup damai di lingkungan masyarakat yang multikultural.[10] Konteks tauhid dan hubungan antar umat beragama, moderasi beragama (MB) adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya.[11]
Pilar utama motivasi moderasi berbangsa dan bernegara dalam prespektif pondok pesantren salahsatunya adalah bahwa peradaban bangsa yang dipandang mulia disisi Allah SWT adalah hanya dari ketaqwaan nya, bukan dari hal lain, sebagaimana keterangan dalam Alqur’an surat alhujarat ayat 13 yang berbunyi :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”.[12]
Serta diperkuat oleh salahsatu hadist Rosul yang berbunyi:
خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58.[13]
Dalam konteks pondok pesantren bahwa konsep moderasi berbangsa dan bernegara adalah sebagai berikut :
- Tawassuth, mengambil jalan tengah. Setiap kali membicarakan sesuatu yang terdapat pro dan kontra, santri diajarkan sikap mediate atau mengambil jalan tengah. Termasuk juga dalam mengambil pendapat dan bersikap sosial sehari-hari secara baik dan bijaksana.
- I’tidal, sikap tegak lurus yaitu kebiasaan untuk bersikap objektif berdasarkan dengan ukuran yang diterima bersama. Bahwa, bangsa yang majemuk itu adalah bangsa yang beragam serta memiliki kesulitan pokok, yaitu kesepakatan. Agar titik temu itu bisa dihasilkan, maka kalangan santri dididik untuk besar jiwa menerima keputusan bersama, karena tanpa sikap seperti ini sikap tegak lurus, akan menjadi sulit untuk ditegakkan.
- Tasamuh, toleran atau ramah terhadap perbedaan. Sebagaimana kita maklumi bahwa santri berasal dari beragam latar belakang suku, bahasa, budaya, pekerjaan orang tua, sehingga setiap santri bisa menampilkan ekspresi yang berbeda-beda cara makannya cara berpakaiannya, cara berbicara, dan seterusnya. Maka, keramahan terhadap perbedaan itu menjadi kunci yang ketiga bagi para santri untuk bisa hidup berbangsa dan bernegara.
- Musyawarah, berembug/berunding. Di pesantren, para santri biasa berembug mulai urusan pribadi, urusan kamar, urusan di kelas, juga urusan di sekolah/madrasah. Pesantren membiasakan dan melatih santr-santrinya untuk mengambil tanggung jawab dalam urusan tersebut melalui musyawarah. Misalnya, mulai dari masalah sehari-hari sampai pada masalah keagamaan. Praktik musyarawah ini biasanya ada pada organisasi ditiap-tiap pesantren, sebut saja di pondok pesantren Daar El Hasanah, ada organisasi santri yang disebut dengan BESDA (badan eksekutif santri Daar El Hasanah), melalui BESDA ini santri bermusyawarah dalam setiap aspek permasalahan.
- Ishlah, menjaga kebaikan dan kedamaian. Kita bisa bayangkan dalam pesantren dengan jumlah santri ratusan hingga ribuan, bagaimana mereka bisa menemukan kebersaman yang utuh. Maka, para santri biasanya dilatih untuk berunding, merundingkan kepentingan dan kebutuhan. Misalnya terkait tata krama dan peraturan yang berlaku agar tercipta kerukunan antar santri yang berbeda latar belakang budaya daerahnya. Tidak heran jika ajaran ishlah ini kemudian menjadi ciri khas tokoh-tokoh pemimpin nasional.
- Qudwah, teladan ataupun kepeloporan. Orang hidup tidak selama menjadi makmum (dipimpin), tapi juga harus bisa memimpin (imam), sedangkan memimpin adalah identik dengan menegakkan keadilan. Maka, aspek kepemimpinan juga terus-menerus dibekalkan kepada para santri. Sebagaimana praktik kepemimpinan di pesantren yang bertingkat-tingkat, misalnya ketua kamar, koordinator antar kamar, pengurus blok, pengurus bidang tertentu; kurikulum, kesehatan, keamanan, kesenian, dan lain sebagainya. Sehingga dipesantren santri senantiasa digaungka siap memimpin dan siap dipimpin.
- Muwathanah, cinta Tanah Air. Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, gagasan-gagasan nasionalisme sudah tumbuh dengan sangat baik di pesantren. Sebagaimana isi dari lagu Yalal wathan yang sudah muncul pada kisaran tahun 1920an M. Lagu cinta Tanah Air ini sudah dikenalkan kepada para santri, padahal Indonesia belum merdeka. Maka tidak heran apabila selama ini kiai dan santrinya sudah biasa berdoa untuk kemaslahatan dan kesejahteraan Indonesia. Bahkan adanya fatwa resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadrotu Syeikh Hasyim Asy’ari yang berbunyi: Hubbul wathan minal iman artinya cinta tanah air merupakan bagian dari iman, dari situlah santri belajar bagaimana mencintai dan bertanggungjawab terhadap negara tercinta nya Indonesia.
- Al-laanf, anti kekerasan. Ciri ini merupakan bagian tersendiri di pesantren, sehingga para santri dikenalkan dengan ihwal ekspresi yang dapat meredam gejolak emosi yang biasanya bisa memicu sikap kekerasan. Di antara metodenya yaitu adanya kesenian hadroh ataupun marawis. Para santri dapat berlatih multisensorik, telingnya mendengar, mulutnya membaca syair, matanya melihat koordinasi gerak teman-temannya, tangan kiri memegang marawis ataupun hadroh, sedangkan tangan kanan memukul marawis ataupun hadroh, sehingga semuanya dalam harmoni. Hal-hal semacam itu termasuk cara pesantren untuk mengikis habis aspek-aspek kekerasan.
- I’tiroful urfi, ramah terhadap budaya. Sikap ini merupakan ciri khas pesantren. Misalnya, pesantren-pesantren di Jawa selama ini dikenal ramah dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Sehingga, mereka bisa ramah juga dengan budaya selain Jawa, karena memang menyadari ada santri-santri yang berasal dari budaya yang berbeda.
- Al-talim fe tol zaman, belajar sepanjang hayat, dengan prinsip seperti ini maka santri akan terus belajar dari segala kesalahan dan pengalaman nya sehingga dia terus mampu untuk menyesuaikan diri nya seiring dengan perkembangan zaman dengan tetap memprioritaskan tauhid dan akhlakul karimah dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa moderasi berbangsa dan bernegara dalam prespektif pondok pesantren adalah adalah cara pandang, sikap, dan prilaku berbangsa dan bernegara dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat manusia dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, menghargai dan mendahulukan kepentingan oranglain serta mentaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara.[14]
Referensi :
Abror, Mhd. “Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi.” Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam 1, no. 2 (2020): 143–55.
Al-Amir, Najib Khalid. Tarbiyah Rasulullah. Gema Insani, 2000.
Amin, Ach Muzairi. “Implementasi Pembentukan Karakter Multikultural Santri Pondok Pesantren Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo.” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 14, no. 1 (2021): 46–68.
“Bangsa – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.” Accessed November 5, 2023. https://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa.
Faizah, Nur. “Moderasi Beragama: Damai Dalam Bhineka Indonesia.” In Proceeding Annual Conference on Madrasah Teacher, 5:167–70, 2022.
Hasyim, Nanang Mizwar. “Tasawuf Dan Internalisasi Moderasi Beragama Dalam Menghadapi Problematika Bangsa.” UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, 2020.
Nawawi, Muhammad Ruston, and Suci Hartati. “Implementasi Pendidikan Moderasi Beragama (Aspek Nasionalis, Toleransi Dan Anti Radikalisme) Di MTS Murtafa Al-Mukarroma Kabupaten Oku Timur.” Innovative: Journal Of Social Science Research 3, no. 4 (2023): 7042–58.
“Negara – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas.” Accessed November 5, 2023. https://id.wikipedia.org/wiki/Negara.
NU Online. “5 Makna Penting Seorang Santri.” Accessed November 5, 2023. https://nu.or.id/daerah/5-makna-penting-seorang-santri-ho3f8.
“Pesantren.” In Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, October 28, 2023. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pesantren&oldid=24682095.
“Qur’an Kemenag.” Accessed November 5, 2023. https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/49?from=13&to=13.
Rusmiati, Elis Teti, MA Heryanto Alfudholli, Asep Shodiqin, and Taufiqurokhman Taufiqurokhman. “Penguatan Moderasi Beragama Di Pesantren Untuk Mencegah Tumbuhnya Radikalisme.” ABDI MOESTOPO: Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat 5, no. 2 (2022): 203–13.
Yunus, Rasid. “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa.” Jurnal Penelitian Pendidikan 13, no. 1 (2013): 67–79.
[1] Ach Muzairi Amin, “Implementasi Pembentukan Karakter Multikultural Santri Pondok Pesantren Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo,” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 14, no. 1 (2021): 46–68.
[2] Elis Teti Rusmiati et al., “Penguatan Moderasi Beragama Di Pesantren Untuk Mencegah Tumbuhnya Radikalisme,” ABDI MOESTOPO: Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat 5, no. 2 (2022): 203–13.
[3] Mhd Abror, “Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi,” Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam 1, no. 2 (2020): 143–55.
[4] Nanang Mizwar Hasyim, “Tasawuf Dan Internalisasi Moderasi Beragama Dalam Menghadapi Problematika Bangsa,” UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, 2020.
[5] “Bangsa – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,” accessed November 5, 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa.
[6] “Negara – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,” accessed November 5, 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Negara.
[7] Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan Karakter Bangsa,” Jurnal Penelitian Pendidikan 13, no. 1 (2013): 67–79.
[8] “Pesantren,” in Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, October 28, 2023, https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pesantren&oldid=24682095.
[9] “5 Makna Penting Seorang Santri,” NU Online, accessed November 5, 2023, https://nu.or.id/daerah/5-makna-penting-seorang-santri-ho3f8.
[10] Rusmiati et al., “Penguatan Moderasi Beragama Di Pesantren Untuk Mencegah Tumbuhnya Radikalisme.”
[11] Muhammad Ruston Nawawi and Suci Hartati, “Implementasi Pendidikan Moderasi Beragama (Aspek Nasionalis, Toleransi Dan Anti Radikalisme) Di MTS Murtafa Al-Mukarroma Kabupaten Oku Timur,” Innovative: Journal Of Social Science Research 3, no. 4 (2023): 7042–58.
[12] “Qur’an Kemenag,” accessed November 5, 2023, https://quran.kemenag.go.id/quran/per-ayat/surah/49?from=13&to=13.
[13] Najib Khalid Al-Amir, Tarbiyah Rasulullah (Gema Insani, 2000).
[14] Nur Faizah, “Moderasi Beragama: Damai Dalam Bhineka Indonesia,” in Proceeding Annual Conference on Madrasah Teacher, vol. 5, 2022, 167–70.