Visi misi

Diposting oleh:

Pengajian Kitab Ta’lim Muta’lim dalam Meningkatkan Akhlak Santri Pondok Pesantren

PENGAJIAN KITAB TA’LIM MUTA’LIM DALAM MENINGKATKAN AKHLAK SANTRI PONDOK PESANTREN
Pengajian Kitab Ta’lim Muta’lim dalam Meningkatkan Akhlak Santri Pondok Pesantren
OLEH : UWANDI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASSALAMIYAH SERANG BANTEN
TAHUN 2020

Dalam ajaran Islam pendidikan sangat penting karena pendidikan adalah salah satu aspek sosial budaya yang berperan strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat, dan bangsa. Pendidikan pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik serta menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi.  Untuk itu, dalam rangka memajukan kehidupannya dan menjalankan tugas yang dibebankan Allah swt. kepadanya sebagai khalifah dan pengelola di muka bumi, manusia diperintahkan untuk belajar terus menerus sepanjang hidupnya. Pembentukan kualitas manusia yang seutuhnya, dalam arti pencapaian tingkat kualitas manusia yang optimal, baik dari segi lahiriah maupun batiniah

Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awalanpe- dan akhiran –an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan mengajarkan mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam keadaan semacam ini masih terpadu pada pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan Pulau Madura yang bercorak tradisional. Namun pesantren yang safi biasanya tidak hanya mengajarkan agama saja, tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu ketrampilan dan sebagainya sebagaimana yang kita ketahui pada Peranan Pondok Pesantren salafi di Pondok Pesantren Riyadul Fikar Kp. Curugsari Desa Cemplang Kecamatan Jawilan Serang.

Dari uraian panjang lebar di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengerti pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan dan keagamaan yang berusaha melestarikan, mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam serta melatih para santri untuk siap dan mampu mandiri. Atau dapat juga diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar pada seseorang kyai untuk memperdalam/memperoleh ilmu, utamanya ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat.

Manusia lahir kedunia dari rahim ibu-nya dalam keadaan tidak mengetahui apap-apa dan tidak memiliki ilmu pengetahuan. Namun demikian, Allah Swt telah melengkapi dirinya dengan pendengaran, penglihatan, akaldan hati ytang merupakan bekal dan potnsi sekaligus sarana untuk membina dan mengembangkan kepribadiannya. Secara bertahap melalui jalur pendidikan, potensi dan sarana itu dibina serta dikembangkan sehingga tercapai bentuk kepribadian yang diharapkan. Bentuk kepribadian yang diharapkan dari seorang muslim adalah pribadi yang mampu memimpin dan mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam, nilai-nilai yang tertanam dalam jiwanya dan mewarnai corak kepribadiannya.

Dengan demikian, misi pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada transpormasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga internalisasi nilai-nilai spiritual religius dan nilai etika, yang justru harus mendapat prioritas dan ditempatkan pada posisi tertinggi. Oleh karena itu, pendidikan mengenai spiritual eligius dan moralitas harus ditanamkan kepada anak-anak sedini mungkin. Seperti dikemukakan oleh Dr. Ali Ashraf.”(pengetahuan) tentang keyakinan dan etika harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal, walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir.” Al-Zarnuji adalah tokoh pendidikan abad pertengahan yang mencoba memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, akan tetapi berorientasi akhirat. Karya al-zarnuji yang terkenal yakni” kitab ta’limul al-muta’lim, thariq Al-taallum’, Merupakan salah satu karya kelasik dibidang pendidikan yang telah banyak dipelajari dan dikaji oleh para penuntut ilmu, terutama di pondok pesantren. Materi kitab ini sarat dengan muatan-muatan pendidikan moral spiritual. “Tasawuf” yang jika direalisasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tentu tujuan ideal dari pendidikan islam dapat tercapai.

Belajar sebagai kegiatan rutin santri yang dapat kita saksikan dilingkungan masing –  masing. Mereka belajar tiap hari, ada yang ke sekolah, surau, majelis  ta’lim atau lembaga pendidikan lalin. Hal itu terjadi menginat semakin majunya masyarakat. “Semakin maju suatu masyarakat, semakin dirasakan pentingnya sekolah dan pendidikan secara teratur bagi pertumbuhan dan pembinaan anak dan generasi muda pada umumnya. Selain itu agama pun memberikan dorongan terhadap umatnya untuk mencari ilmu, nabi bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْلُكُ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا اِلاَّ سَهَّلَ اللهَ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا الَِى الجَْنِّةِ

Artinya : “Dari Abi Hurairah  ra. Berkata : nabi bersabda : Tiada seseorang yang menempuh jalan untuk mencari ilmu kecuali Allah memudahkan baginya jalan ke syurga … ” (abu Daud,tt:jilid III:317)

       Allah pun berfirman  dalam surat Al Mujadilah ayat 11 :

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya : “Niscaya Allah akan meninggikan orang – orang yang beriman diantara kamu dan orang – orang diberi pengetahuan beberapa derajat.” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al Quran,1411 H.:910)

Itulah beberapa seruan agar umat giat mencari ilmu dan masih banyak  ayat dan hadits serta ucapan ulama’ yang menyerukan giat mencari ilmu. Dorongan seperti itu menjadi motivasi umat untuk berusaha mendapatkan ilmu dengan berbagai cara ; yang melalui sekolah dan luar sekolah, sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dorongan untuk selalu belajar tidak cukup bagi anak didik, melainkan diperlukan usaha nyata. Masuk dalam lembaga pendidikan pun tidak mudah apa lagi perguruan tinggi, sedang langkah untuk keluar dari gerbang dengan sukses pun tidak mudah, itulah lukisannya tentang pernyataan Professor diatas. Banyak rintangan, masalah dan kesulitan lain yang harus  ditempuh dan diselesaikan  oleh pelajar.Permasalahan tentang kesulitan belajar tidak hanya menimpa zaman sekarang saja, namun masa lampau juga hal tersebut diungkapkan oleh imam az Zarnuji dalam mukaddimah kitab Ta’lim al-Muta’allim : “…banyak sekali penuntut ilmu yang tekun tetapi tidak bisa  memetik kemanfaatan dan buahnya, yaitu mengamalkan dan menyiarkannya, lantaran mereka salah jalan dan meninggalkan persyaratan keharusannya. Itulah pernyataan imam Az Zarnuji yang dapat disimpulkan bahwa cara belajar yang efektif masih belum dikuasai. Belum dikuasainya belajar oleh pelajar pada saat itu yang kemudian mendorong imam Az Zarnuji untuk menuliskan kitab yang menerangkan cara belajar yang benar sehingga sukses dalam belajar dan mencapai cita – cita. Setelah penulis mempelajari kitab Ta’lim Al-Muta’allim, maka ingin untuk mengetahui relevansi kitab itu dengan teori pendidikan modern.

Adapun perilaku-perilaku yang diharapkan dapat dimiliki Santri setelah menjalani proses pendidikan, yaitu :

  1. Santri menjadi manusia Bertaqwa dan beriman kepada Allah SWT. Taqwa dilahirkan dan dipupuk oleh ibadah. Dan ibadah ditumbuhkan oleh Iman kepada Allah SWT. Dari Iman itulah tersusun syari’at (peraturan) melaksanak santri  an ibadah. Allah memerintahkan supaya mentaati-Nya dan Rasul-Nya, yaitu suatu perintah yang mengandung kebencian dan beban memberatkan.
  2. Membentuk Pribadi Santri yang berakhlak Karimah. Pembinaan akhlak yang mulia merupakan inti ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an, akhlak ini bertumpu dalam keimanan kepada Allah SWT. Dan keadilan sosial.
  3. Cerdas Jasamani dan Rohani. Sistem Pendidikan Nasional merumuskan tujuan pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan Santri melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranan Santri dimasa yang akan datang. Tarbiyah diartikan sebagi usaha mentransper ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada santri, kemudian mengaflikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata dan mendapat bimbingan dari para gurunya. Dari dapat dimengerti bahwa tarbiyah itu lebih luas jika dibandingkan dengan Ta’lim. (Depag RI, 2004 : 9).

Pesantren ternyata menyimpan keunikan tersendiri. Salah satu diantaranya adalah kegiatan pengajian kitab kuning yang merupakan salah satu ciri khas dan simbol tradisi keislaman di pesantren yang hingga kini masih dipertahankan terutama pada beberapa pesantren tradisional. Dengan kata lain pesantren dan kitab kuning ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama mempunyai makna, sehingga eksistensi sebuah pesantren hampir selalu diidentikkan dengan kitab kuning yang mengandung berbagai khazanah ilmu pengetahuan.

Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk mengadakan kajian lebih mendalam tentang skripsi yang berjudul “ Pengajian Kitab Ta’lim Muta’lim Dalam Meningkatkan Akhlak Santri Pondok Pesantren

Pengajian berasal dari kata kaji yang artinya meneliti atau
mempelajari tentang ilmu-ilmu agama Islam. Maksudnya adalah
membimbing sesering mungkin terhadap umat manusia yang sudah
memeluk agama Islam pada khususnya, agar keberagamaan semakin
meningkat. Jadi pengajian merupakan pengajaran agama Islam danmenanamkan norma-norma agama melalui media tertentu. Pengajian ini biasa diselenggarakan oleh masyarakat baik di masjid, mushala, Pondok Pesantren-Pondok Pesantren, perumahan bahkan perkantoran.Pengajian yang kita ketahui sebagai sistem tradisional, telahmenyumbangkan hasil yang tidak bisa dianggap sepele di Indonesia,seperti aktifitas yang dilakukan oleh sejumlah Walisongo. Karena padadasarnya sistem yang diterapkan dalam pengajian tidak saklek pada satumodel saja. Akan tetapi guna tercapainya sebuah dakwah, makadisesuaikan dengan kondisi sosial yang ada pada waktu itu.Tujuan mengkaji suatu ilmu adalah mendapatkan suatu ilmuyang benar. Esensi dari ilmu itu akan ada bila dirinya ada iman dan amal saleh, sehingga terwujudnya suatu kehidupan yang bahagia dansejahtera dunia dan akhirat dalam ridha Allah.Berpijak pada hal di atas, maka pengajian juga disebutdakwah, bukan sekedar tabligh tetapi merupakan salah satu bentukusaha untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Tujuan pengajian merupakan tujuan dakwah juga, karena didalam pengajian antara lain berisi muatan-muatan ajaran Islam. Olehkarena itu, tujuan untuk menyebarkan Islam, begitu pula untukmerealisir ajarannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia adalahmerupakan usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun harus dilaksanakan oleh umat Islam. Tujuan dakwah memberi pengaruh besar terhadap unsur-unsurdakwah yang lain. Karena tujuan merupakannilai akhir dari sebuah aktifitas. Adapun tujuan pengajian atau dakwah pada hakekatnya adalah juga merupakan tujuan hidup manusia sesuai dengan ajaran Al-Quransenantiasa menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Sedangkan Asmuni Syukir membagi tujuan dakwah menjadidua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dakwah adalahmengajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafiratau musyrik) kepada jalan yang benar yang diridhai Allah SWT, agardapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat.Sedangkan tujuan khusus dakwah yaitu :

  1. Mengajar umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu menigkatkan taqwanya kepada Allah SWT.
  2. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih mu’alaf.
  3. Mengajar umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama Islam).
  4. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang darifitrahnya.
    secara otomatis pengajian ini memotivasi padapesertanya untuk selalu ingat akan akhirat, yaitu mengisikehidupan ini dengan cara beribadah kepada Allah SWTdan berbuat baik antar sesama pada umumnya.

Adapun penyampaian hal-hal yang berkaitan dengan Islamkhususnya melalui pengajian, dapat dilakukan dengan berbagaimodel pengajian yang ada. Adapun bentuk-bentuk pengajian itu sendiri antara lain. Dilihat dari segi waktuPengajian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Pengajian mingguanYaitu pengajian yang dilaksanakan seminggu sekali, bisaditempatkan setiap hari senin, atau setiap jum’at dansebagainya.
  2. Pengajian bulananYaitu pengajian yang dilaksanakan setiap sebulan sekali, bisa minggu pertama, atau minggu kedua dan seterusnya,atau 2 bulan sekali dan ada juga yang tiga bulan sekali.
  3. Pengajian selapananYaitu pengajian yang dilaksanakan setiap 40 hari sekali.

Dilihat dari anggota/pesertaPeserta pengajian satu dengan yang lainnya masing-masingberbeda sehingga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Pengajian Thoriqo

Biasanya dalam pengajian ini materi yang disampaikanadalah berkisar pada permasalahan yang berkaitandengan ukhrawi, berpijak pada masalah di atas, berartiPengajian berasal dari kata kaji yang berarti meneliti ataumempelajari ilmu-ilmu agama (Poerwadarminta, 1985: 431).Pengajian bisa diartikan kita menuju kepada pembinaan masyarakatmelalui jalur agama. Bimbingan kepada masyarakat ini biasanyakhusus mengkaji bidang-bidang agama seperti aqidah, fiqih dankitab-kitab lain yang berhubungan dengna agama Islam. Bimbingankepada masyarakat ini bisa dikatakan sebagai dakwah, karenadakwah merupakan usaha peningkatan pemahaman keagamaan untukmengubah pandangan hidup, sikap batin dan perilaku umat yang tidaksesuai dengan ajaran Islam menjadi sesuai dengan tuntutan syariatuntuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.(Munir, 2006: 21).

Sedangkan Departemen Agama RI mengartikan pengajiansebagai organisasi yang mengelola pendidikan non formal dalamagama Islam,khususnya pendidikan Al-Qur’an. (Depag RI, 1995:10). Maksud dari pengertian pengajian di atas adalah untukmembimbing umat Islam agar tingkat keberagamaannya semakinkuat dan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan dasarkeridhaan Allah.Pengajian disini merupakan suatu kegiatan yang bergerak dibidang dakwah.Fungsi pengajian sebagai lembaga dakwah maupun lembagalembaga lainnya adalah menggerakkan masyarakat untukmelakukan tindakan perubahan dari kondisi yang ada menjadikondisi yang lebih baik menuruttuntunan agama Islam (KanwilDepag, 1992:17). Fungsi ini merupakan serangkaian hasil akhiryang ingin dicapai oleh keseluruhan tindakanpengajian.

Dengandemikian antara fungsi pengajian dengan tujuan utama dakwahmempunyai kesimpulan yang sama yaitu dengan melakukanperubahan dalam diri mereka dengan menjauhi larangannya danmenjalankan perintah-Nya, maka kondisi dari mad’u akan lebihbaik, yaitu mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.Sedangkan tujuan utama dakwah itu sendiri adalah mendapatkanhasil akhir yang ingin dicapai oleh keseluruhan tindakan dakwahyaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (Shaleh, 1977:21) .

  1. Unsur-unsur Pengajian

Seperti halnya tujuan pengajian, unsur-unsur pengajian adalah
sama dengan unsur-unsur dakwah. Dalam proses pelaksanaanpengajian terdapat beberapa unsur yang perlu diperhatikan oleh parapelaksana pengajian agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Unsur tersebut terdiri dari da’i, mad’u, materi, metode dan media.

  1. Dai (Subjek Pengajian)

Da’i atau subyek pengajian merupakan orang yangmelaksanakan suatu proses kegiatan untuk menyeru kepada sesama umat manusia. Pada prinsipnya umat muslim wajib untukmelakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi karena pengetahuanyang berbeda-beda tidak semua muslim bisa berdakwah. Subyekdakwah ini merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaandakwah, karena da’i merupakan seorang pemimpin yang member keteladanan bagi orang lain. Di antara sifat-sifat yang perludimiliki oleh seorang da’i atau mubaligh adalah:

  1. Mengetahui tentang Al-Qur’an dan Sunah Rasul sebagai pokok Agama Islam.
  2. Memiliki pengetahuan Islam seperti tafsir, ilmu hadits, sejarah kebudayaan Islam dan lain-lainnya.
  3. Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti tekhnik dakwah, sejarah, perbandingan agama dan sebagainya.-Memahami bahasa umat yang akan diajak ke jalan yang diridhai Allah.-Penyantun dan lapang dada.
  4. Berani kepada siapa saja dalam menyatakan, membela dan
    mempertahankan kebenaran.
  5. Memberi contoh dalam setiap medan kebajikan
  6. Berakhlak baik sebagai seorang muslim.
  7. Memiliki ketahanan mental yang kuat (kesabaran), keras kemauan, optimis walaupun menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan.
  8. Beradakwah karena Allah.
  9. Mencintai tugas kewajibannya sebagai da’i dan tidak gampang meninggalkan tugas tersebut karena pengaruhpengaruh keduniaan. (Ya’qub, 1992: 38)

Apabila seorang da’i memiliki sifat-sifat tersebut diatasmaka akan mempermudah bagi da’i untuk memberikan materinyakepada mad’u, dan juga apabila terdapat suatu halangan dalampenyampaian materi dakwah maka akan segera mudah untukdiatasi dalam pelaksanaannya.

  1. Mad’u (Obyek Pengajian)

Seluruh umat manusia merupakan penerima dakwah tanpakecuali dan tidak membedakan status sosial, umur, pekerjaan, asaldaerah, dan ukuran biologis baik itu pria maupun wanita.Jadiobyek disini merupakan sasaran da’i untuk melakukandakwahnya. Muhammad Abduh membagi mad’u menjadi tigagolongan, yaitu:

  1. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, danberfikir secara kritis dan cepat menangkap persoalan.
  2. Golongan awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapatberfikir secara kritis dan mendalam, serta belum dapatmenangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
  3. Golongan yang berbeda dengan kedua golongan tersebut.Mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batastertentu saja, dan tidak mampu membahas secara mendalam.(Munir, 2006: 23).

Dengan mengetahui bagian-bagian dari masyarakat tersebut, maka materi dan metode yang akan disampaikan kepada mereka punberbeda, dengan menyesuaikan menurut perbedaan mereka.

  1. Materi Pengajian

Materi merupakan bahan yang dipergunakan da’i untukdisampaikan kepada mad’u. materi tersebut menekankan padamateri agama atau ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan SunnahRasul. Pokok-pokok materi dakwah atau ajaran Islam antara lain:

  • Aqidah Islam, Tauhid dan keimanan.
  • Pembentukan pribadi yang sempurna.
  • Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.
  • Kemakmuran dan kesejahteraan dunia dan akhirat. (Ya’qub:1992: 30)

Dalam penyampaian materi maka da’I hendaknya tidakmelupakan kondisi dansituasi keadaan dari mad’u, dan dalampenyampaian materi harus sesuaidengan kemampuan da’I

  1. Metode Pengajian

Metode merupakan cara yang dipakai da’i untukmemberikan materi yang telah dipersiapkan untuk mad’u. Metodedakwah sangat berperan terhadapkelangsungan kegiatan dakwahuntuk tercapainya tujuan yang telah diinginkan. Metode ini terdiridari;

  • Bi al-Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitikberatkan pada kemampuan mereka. Cara ini dilakukan agar mad’u sebagai sasarannya tidak merasa terpaksa atau keberatan dalam menerima materi-materi ajaran Islam.
  • Mau’izhat al-Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasehat-nasehat atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga apa yang telah disampaikan kepada obyek dakwah dapat mengena da;am hati mereka.
  • Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan carabertukarpikiran dan membantah dengan cara yang sebaikbaiknya. (Munir,2006: 34)
  • Dalam penyampaian materi perlu cara atau jalan yang dipakai da’i.Metode di atas sangat penting perananya bagi jalannya penyampaianmateri agar penerima materi tersebut tidak menolak pesan tersebut
  1. Media Pengajian

Media merupakan alat perantara yang digunakan dalampelaksanaan kegiatan yang menghubungkan pemikiran denganmad’unya. Media dakwah terbagi atas lima macam yaitu :

  • Lisan, media ini menggunakan lidah atau suara di antaranya :
  • khutbah, pidato, ceramah, diskusi, seminar, musyawarah, pidato-pidato radio dan juga obrolan secara bebas kepada sasaran dakwah.
  • Tulisan, yang termasuk dari media ini adlah buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, kuliah-kuliah tertulis, spanduk.
  • Lukisan, adalah media dakwah melalui lukisan, foto-foto, film cerita dan lain sebagainya.
  • Audiovisual, media yang digunakan adalah televisi, sandiwara, ketoprak, wayang yang penyampaiannya ini sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran.
  • Akhlak, media ini dilakukan melalui perbuatan-perbuatan yang nyata dengan mencerminkan ajaran Islam. (Ya’kub, 1992: 48) Media ini digunakan untuk menghubungkan kondisi mad’u dan da’I itu sendiri, dalam segi tenaga, daya fikir, waktu, biaya, tempat, dan lain sebagainya.

Kitab klasik yang lebih dikenal dengan nama kitab kuning mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan ajaran agama Islam. Hal ini menunjukan bahwa kitab kuning penting untuk dipelajari. Ilmuwan Islam menuliskannya dalam sebuah kitab yang berwarna unik yaitu kekuning-kuningan yang dipelajari oleh Pondok Pesantren dan Pondok Pesantren. Kitab tersebut berisi ilmu- ilmu keIslaman, khususnya ilmu fikhi, yang ditulis atau dicetak dengan huruf Arab dalam bahasa Arab atau Melayu, Jawa, Sunda dan sebagainya.Kitab itu disebut “kitab kuning” karena umumnya dicetak di atas kertas berwarna kuning yang berkualitas rendah. Kadang-kadang lembar-lembaranya lepas tak terjilid sehingga bagian-bagian yang perlu mudah diambil. Biasanya, ketika belajar, para santri hanya membawa lembaran-lembaran yang akan dipelajari dan tidak membawa kitab secara utuh.  Ini sudah merupakan kharisma dari kitab kuning sehingga kitab ini menjadi kitab yang unik untuk dipelajari.

Kitab kuning mempunyai format tersendiri yang khas dengan warna kertas “kekuning-kuningan”. Melihat dari warna kitab yang unik maka kitab ini lebih dikenal dengan kitab kuning. Akan tetapi akhir-akhir ini ciri–ciri tersebut telah mengalami perubahan. Kitab kuning cetakan baru sudah banyak memakai kertas putih yang umum dipakai di dunia percetakan. Juga sudah banyak yang tidak “gundul“ karena telah diberi syakl untuk memudahkan santri membacanya. Sebagian besar kitab kuning sudah dijilid. Dengan demikian, penampilan fisiknya tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang biasanya disebut “al–kutub al–‘ashriyyah“ (buku–buku modern). Perbedaannya terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya. Meskipun begitu, julukan “kitab kuning“ tetap melekat padanya.

Kitab kuning dipelajari terutama di pesantren sebab berisi bermacam-macam ilmu keagamaan yang dibutuhkan para santri untuk mengembangkan ajaran agama dan mengembangkan pendidikan keagamaan mereka. Tujuannya, agar mereka mempunyai keyakinan yang kuat dalam melaksankan ibadah.Kitab kuning berasal dari Timur Tengah. Di daerah asalnya, kitab kuning disebut “al–kutub  al- qadimah“ (buku–buku klasik) sebagai sandingan dari “al–kutub al–‘ashriyah“ (buku – buku modern). “Al-kutub al-‘ashriyah” yang beredar di Indonesia (di kalangan pesantren) sangat terbatas jenisnya. Dari kelompok ilmu–ilmu syariat, yang sangat dikenal ialah kitab–kitab ilmu fiqih, tasawuf, tafsir, hadist, tauhid (akaid), dan tarekh (terutama Sirah Nabawiyyah, sejarah hidup Nabi Muhammmad s.a.w). Dari kelompok ilmu–ilmu nonsyariat, yang banyak dikenal ialah kitab-kitab nahwu sharaf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk memperoleh kemampuan membaca kitab gundul. Dapat dikatakan bahwa kitab kuning yang banyak beredar dikalangan pesantren adalah kitab yang berisi ilmu–ilmu syariat, khususnya ilmu fikhi.

Ada tiga ciri umum kitab kuning. Pertama, penyajian setiap materi dalam satu pokok pembahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi–definisi yang tajam, yang memberi batasan pengertian secara jelas untuk menghindari salah pengertian terhadap masalah yang sedang dibahas. Kedua, setiap unsur materi bahasan diuraikan dengan segala syarat–syarat yang berkaitan dengan objek bahasan bersangkutan. Ketiga, pada tingkat syarah (ulasan atau komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya, lengkap dengan penunjukan sumber hukumnya.

Untuk memahami kitab kuning, ada berberapa sudut pandang yang penting untuk diketahui, diantaranya:

  1. Kandungan maknanya.
  2. Kadar penyajian.
  3. Kreativitas penulisan.
  4. Penampilan uraian.

Dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu:

1)   Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah, hadis, dan tafsir.

2)   Kitab kuning yang menyajikan materi yang berbentuk kaidah–kaidah keilmuan seperti nahu, usul fikhi, dan mustalah al–hadis (istilah–istilah yang berkenaan dengan hadis).

Pengajian kitab kuning yang ada di pondok pesantren adalah kegiatan dalam rangka meningkatkan kemampuan berfikir agamis dan membetuk akhlak dan keprinadian seorang muslim yang hakiki. Islam, merupakan satu-satunya ajaran agama yang hakekatnya adalah untuk keselamatan umat manusia. Hal ini dibuktikan dalam konteks ajarannya yang mengandung nilai-nilai rahmatan lil alamin, artinya ajarannya bersifat universal, tidak hanya dikhususkan kepada umat Islam.

Sementara itu, dilihat dari kadar penyajiannya, kitab kuning dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:

1) Mukhtasar, yaitu kitab yang tersusun secara ringkas dan menyajikan pokok–pokok masalah, baik yang muncul dalam bentuk nazam atausyi’r (puisi) maupun dalam bentuk nasr (prosa);

2) Syarah, yaitu kitab kuning yang memberikan uraian panjang lebar, menyajikan argumentasi ilmiah secara komparatif, dan banyak mengutip ulasan ulama dengan argumentasi masing-masing;

3) Kitab kuning yang penyajian materinya tidak terlalu ringkas tetapi
juga tidak terlalu panjang (mutawassitah).

Dilihat dari kreativitas penulisannya, kitab kuning dikelompokkan menjadi tujuh macam, yakni:

1) Kitab kuning yang menampilkan gagasan–gagasan baru, seperti
Kitab al-Risalah (kitab Uṣul Fikhi) karya Imam Syafi’i, al-‘Arud wa al–Qawafi (kaidah– kaidah penyusunan syair).

2) Kitab kuning yang muncul sebagai penyempurnaan terhadap karya yang telah ada, sebagai Kitab Nahwu (tata bahasa Arab) karya as–Sibawaih yang menyempurnakan karya Abul Aswad ad-Duwali.

3) Kitab kuning yang berisi komentar (syarah) terhadap kitab yang telah ada, seperti Kitab Hadis karya Ibnu Ḥajar al-Asqalằnỉ yang memberikan komentar terhadap kitab Sahihal-Bukhari.

4) Kitab kuning yang meringkas karya yang panjang lebar, seperti Alfiah Ibn Malik ( buku tentang nahu yang disusun dalam bentuk syair sebanyak 1.000 bait) karya Ibnu Aqil dan Lubb al-Usul (buku tentang usul fikhi) karya Zakaria al-Alansari sebagai ringkasan dari Jam’al-Jawằnim karangan as-Subki.

5)    Kitab kuning yang berupa kutipan dari berbagi kitab lain, seperti ‘Ulum Al-Quran (buku tentang ilmu-ilmu Al–Quran) karya al-Aufi.

6)    Kitab kuning yang memperbaharui sistematika kitab–kitab yang telah ada, seperti Kitab Ihya Ulum al-Din karya Imam al-Gazali.

7)    Kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab–kitab yang telah ada, seperti Kitab Mi’yar al–‘Ilm (sebuah buku yang meluruskan kaidah–kaidah logika) karya al–Gazali.

Adapun dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar yaitu:

1) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi khusus, sesuatu yang ringkas menjadi terperinci, dan seterusnya.

2) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan dan kemudian menyusun kesimpulan.

3) Membuat ulasan tertentu ketika mengulangi uraian yang dianggap perlu, sehingga penampilan materinya tidak semberawut dan pola pikirnya dapat lurus.

4) Memberikan batasan–batasan jelas ketika penulisnya menurunkan sebuah definisi.

5) Menampilkan beberapa ulasan dan argumentasi terhadap pernyataan yang dianggap perlu.

Istilah kitab kuning sudah tidak asing lagi bagi para santri dan kiai yang pernah mengeyam pendidikan di pesantren terutama pesantren yang ada nilai kesalafannya(Salafiyah pesantren, bukan salafy wahabi). Kitab tersebut sudah diajarkan sejak zaman dahulu oleh pendiri-pendiri Islam di Indonesia bahkan sebelum Islam masuk Indonesia. Kitab kuning adalah sebuah istilah yang disematkan kepada kitab-kitab yang berbahasa Arab yang berhaluan Ahlu Sunnah Waljamaah, yang biasa digunakan oleh beberapa pesantren atau Pondok Pesantren Diniyah sebagai bahan pelajaran. dan kitab ini bukan dikarang oleh sembarang orang, namun karya Para Ulama Salafus Shalih yang sangat ahli dalam menggali hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning. Sebenarnya warna kuning itu hanya suatu kebetulan saja, lantaran zaman dahulu barang kali belum ada jenis kertas seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana, dengan tata letak dan lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid, melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal (kurasan).

Untuk sekarang, kitab-kitab tersebut sudah banyak yang dicetak dengan memakai kertas  putih dan dijilid dengan rapi namun sebagian tetap dicetak dengan kertas warna kuning. Penampilannya tidak kalah menariknya dengan penampilan buku-buku yang selain memakai bahasa Arab, seperti kitab-kitab yang dicetak dari percetakan Dar al Kotob Al Ilmiyah, Beirut Lebanon dan Al Haramain Surabaya.

 Kitab baru yang sudah masuk dalam kategori kitab kuning contohnya “Fiqhul Islam” terbitan 1995. Sedangkan kitab kuning tulisan ulama Indonesia di antaranya kitab “Sirojul Tholibbin”. Kitab yang memperjelas kitab “Minhajul Abidin” karya Imam al-Ghazali itu ditulis Syaikh Ikhsan dari Pondok Pesantren Jampes, Kediri. “Sirojul Tholibbin” hingga kini menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar,  Kairo, Mesir. Contoh kitab kuning dari ulama Indonesia lainnya adalah kitab “Sullamut Taufiq” karya Imam Nawawi dari Banten, yang bertarikh 1358 (Majalah Tempo Interaktif, 2009).

Istilah kitab kuning  bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah ciri khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharakat, bahkan tidak ada tanda baca dan maknanya sama sekali. Tidak seperti layaknya kitab-kitab sekarang yang sudah banyak diberi makna dan harakat sampai catatan pinggirnya.

  • Pengertian Kitab Ta’lim

Kitab Ta’lim al Muta’allim dikarang oleh Syaikh Az Zarnuji dengan nama lengkap :  تَعْلِيْمُ الْمُتَعَلِّمِ فِى طَرِيْقِ التَّعَلُّمِ  dan sering dipotong dengan nama Ta’lim al Muta’allim. Kitab Ta’lim al Muta’allim yang memuat petunjuk bagi penuntut ilmu telah mendapat sambutan baik di kalangan pelajar maupun guru terutama di tanah haram. (Ibrahim,tt:2) Terutama pada pemerintahan Murad Khan  bin Salim Khan, abad XIV M. (Aliy As’ad,tt:I). Dalam kenyataannya kitab ini telah dikenal dikalangan pesantren. Artinya tiap pesantren mengenalnya. (Aly As’ad,tt:I). Kitab tersebut selain dapat dijumpai dengan bentuk Syarahan, juga dengan bentuk terjemahan. Kitab ini memuat tiga belas fasal, yaitu :

Setelah melihat banyaknya para pelajar yang terlihat bersungguh – sungguh dalam belajar namun belum mendapat hasil yang memuaskan (mengamalkan dan menyiarkannya), maka dicari sebab kegagalan mereka itu. Menurut Imam Az Zarnuji adalah mereka salah jalan dan meninggalkan syarat keberhasilan mencari ilmu. (Az Zarnuji,tt:3). Melihat keadaan seperti itu dan mengetahui penyebabnya, maka Imam Az Zarnuji ingin menerangkan kepada pelajar saat itu jalan mencari ilmu. Dalam Kitab Ta’lim al Muta’allim tidak hanya cara belajar saja diterangkan tapi guru pun menjadi satu bahasan didalamnya. Namun dalam membahas guru tidak dibahas secara mendetail melainkan dimasukkan dalam bab memilih guru (halaman 13).

Hal ini mengingat guru sebagai figur sentral yang ditangannya terletak kemungkinan keberhasilan dan pencapaian tujuan belajar. (Tabrani R.1992:3). Namun Kitab Ta’lim al Muta’allim lebih mengarah pada akhlak, tata krama ketika belajar. Namun dengan melaksanakannya dan menekuni akhlak yang digariskan akan membawa kepada keberhasilan dalam mencapai ilmu. Meskipun memuat adab, namun didalamnya memuat beberapa teknik belajar, baik memilih ilmu, guru, teman dan hal – hal yang semstinya dilakukan oleh pelajar. Namun dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan paling depan adalah agar para pelajar sukses dalam mencapai buah dan manfaat ilmu setelah mengamalkan saran san teknik dalam Kitab Ta’lim al Muta’allim.  Kitab Ta’lim al Muta’allim Sebagai Konsep Pendidikan Agama Islam. karena Islam sebagai agama yang diwahyukan Allah kepada nabi-Nya sebagai rahmatal lil alamin. Dalam agama Islam terkandung dua potensi :

  1. Potensi psikologis dan pedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas bajik dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk – makhluk lainnya.
  2. Potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai “Khalifah” di muka bumi. (Arifin,1991:2)

Untuk memfungsikan potensi tersebut diperlukan  suatu usaha kependidikan yang sistematik. Kalau masalah pendidikan tidak akan terlepas pada lima faktor pendidikan yang saling terpaut, yaitu :

  1. Faktor tujuan pendidikan ;
  2. Faktor anak didik ;
  3. Faktor pendidik ;
  4. Faktor alat –alat ;
  5. Faktor lingkungan ;

Kelima faktor tersebut diatas itu harus berinteraksi atau di dayagunakan secara bersama – sama. (Wasty Soemanto,tt:128). Maka sebenarnya dalam Kitab Ta’lim al Muta’allim membahas faktor – faktor tersebut. Namun dengan berdasarkan agama Islam dan digali dari sumber agama, yaitu hadis – hadis rosulullah. Melihat hal yang demikian, mak Kiab Ta’lim al Muta’allim merupakan konsep pendidikan agama Islam sebagaimana pendapat Syahminan Zaini : “Pendidikan Islami digali dari ajaran agam Islam sendiri.” (Syahminan Zaini,1986:1). Tujuan pendidikan oleh Imam Az Zarnuji dimuat dalam bab dua, yang berkenaan dengan anak didik dibahas pada bab 3, 5 dan enam. Faktor guru dibahas pada bab 3, 4, masalah alat – alat pendidikan dibahas pada bab 1, 3.

Kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [خلق] jamaknya  [أخلاق] yang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.Menurut Barmawi Umary (1984) bahwa tujuan pengajaran akhlak secara umum meliputi:

  1. Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina, tercela.
  2. Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.

Sedangkan menurut Prof. DR. Hamka (1976) mengungkapkan bahwa yang menjadi tujuan dalam pengajaran akhlak adalah ingin mencapai setinggi-tinggi budi pekerti dan akhlak. Menurut Ali Hasan 1988 bahwa tujuan pokok akhlak agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat), berangai atau beristiadat yang baik/yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun cirri-ciri akhlak menurut H.A, Mustofa antara lain :

  1. Kebajikan yang mutlak

Islam menjamin kebaikan mutlak karena telah menciptkan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebaikan yang murni baik untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan dan waktu.

  1. Kebajikan yang menyeluruh

Akhlak Islam menjamin kebaikan untuk seluruh umat manusia, tidak mengandung kesulitan dan memberatkan Islam menciptakan akhlak yang mulia sehingga dapat dirasakan sesuai dengan jiwa manusia dan dapat diterima akal yang sehat.

  1. Kemantapan

Akhlak islam bersifat tetap, langsung dan mantap sebab Allah selalu memeliharanya dengan kebaikan yang mutlak.

  1. Kewajiban yang dipatuhi

Akhlak islam wajib ditaati manusia, karena mempunyai daya kekuatan yang tinggi, menguasai lahir batin dan sebagai perangsang untuk berbuat kebaikan yang diiringi dengan pahala dan mencegah perbuatan jahat karena takut akan siksaan Allah Swt.

  1. Pengawasan yang menyeluruh

Agama Islam adalah pengawas hati nurani dan akal sehat. Segala perbuatan dan tingkah laku manusia harus sesuai dengan ajaran akhlak Islam.

Adapun menurut Prof. Dr. Hamka metode pengajaran akhlak ialah:[1][11]

  1. Metode alami

               Metode alami ini adalah suatu metode dimana akhlak yang baik diperoleh bukan melalui didikan, pengalaman, atau latihan, tetapi diperoleh melalui instink atau naluri yang dimilikinya secara alami. Meskipun demikian metode ini tidak dapat diharapkan secara pasti tanpa adanya metode atau faktor lain yang mendukung seperti pendidikan, pengalaman, latihan dan lain sebagainya. Tetapi, paling tidak metode alam ini jika dipelihara dan dipertahankan akan melakukan akhlak yang baik sesuai fitroh dan suara hati manusia. Metode ini cukup efektif untuk menanamkan kebaikan kepada anak karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat kabaikan tinggal bagaimana memelihara dan menjaganya.

  1. Metode mujahadah dan riadhoh.

              Orang yang ingin dirinya jadi penyantun maka jalannya dengan membiasakan bersedekah sehingga menjadi tabiat yang mudah mengerjakannya dan tidak merasa berat lagi. Mujahadah atau perjuangan yang dilakukan guru menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baik memang pada awalnya cukup berat, namun apabila manusia berniat sungguh-sungguh pasti menjadi suatu kebiasaan. Metode ini sangat tepat untuk mengajarkan tingkah laku dan berbuat baik lainnya, agar anak didik mempunyai kebiasaan berbuat baik sehingga menjadi akhlak baginya, walaupun dengan usaha yang keras dan melalui perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, guru harus memberikan bimbingan yang continu kepada anak didiknya, agar tujuan pengajaran akhlak ini dapat tercapai secara optimal dengan melaksanakan program-program pengajaran yang telah ditetapkan.

  1. Metode teladan.

Metode teladan yaitu mengambil contoh atau meniru orang yang dekat dengannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk bergaul dengan orang-orang yang berbudi baik. Pergaulan sebagai salah satu bentuk komunikasi manusia, memang sangat berpengaruh dan akan memberikan pengalaman-pengalaman yang bermacam-macam. Metode teladan ini memberikan kesan atau pengaruh atas tingkah laku perbuatan manusia. Sebagaimana dikatakan Hamka (1984) bahwa: “alat dakwah yang sangat utama adalah akhlaki”. Budi yang nyata dapat dilihat pada tingkah laku sehari-hari. Maka, meneladani Nabi adalah cita-cita tertinggi dalam kehidupan Muslim. Metode ini sangat efektif untuk mengajarkan akhlak, maka seyogyanya guru menjadi ikutan utama bagi murid-murid dalam segala hal. Misalnya, kelembutan dan kasih saying, banyak senyum dan ceria, lemah lembut dalam bertutur kata, disiplin ibadah dan menghias diri dengan tingkah laku sesuai misi yang diembannya.

Jadidengan demikian menurut pendapat penulis bahwa metode keteladanan harus terus diterapkan oleh seorang guru jika tujuan dari pengajaran itu hendak dicapai dengan baik.

Pendidikan Islam itu setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-Islamy (pengajaran keIslaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al Islam (pendidikan Islami). Pendidikan mendapatkan arti yang sangat luas. kata-kata pendidikan, pengajaran, bimbingan dan pelatihan.

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupanya sebagai aktifitas dan fenomena. pendidikan sebagai fenomena adalah perstiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialahberkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup tersebut harus bernafaskan ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits. Kemudian ditinjau dari segi terminology, banyak batasan dan pandangan yang dikemukakan para ahli untuk merumuskan pengertian pendidikan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat dan mencakup semua aspek, walaupun begitu pendidikan berjalan terus tanpa menantikan keseragaman dalam arti pendidikan itu sendiri. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1. (UUD 1945, Undang-Undang Republik Indonesia dan Perubahannya, (Penabur Ilmu, 2004)h. 3).

Akhlak bertujuan pula membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia. Seseorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku terpuji, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, makhluk lainnya serta dengan alam lingkungan. Oleh karena itu, perwujudan dari pribadi muslim yang luhur berupa tindakan nyata menjadi tujuan dalam aqidah akhlak. Menghindari diri dari pengaruh akal pikiran yang menyesatkan. Manusia diberi kelebihan oleh Allah dari makhluk lainnya berupa akal pikiran. Pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran yang semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud Pendidikan Agama Islam (Akhlak)  adalah suatu aktivitas atau usaha-usaha tindakan dan bimbingan yang dilakukan secara sadar dan sengaja serta terencana yang mengarah pada terbentuknya kepribadian anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Pendidikan Akhlak itu adalah usaha berupa bimbingan, baik jasmani maupun rohani kepada anak didik menurut ajaran Islam, agar kelak dapat berguna menjadi pedoman hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Dari uraian tersebut diatas maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan akhlak merupakan usaha sadar yang berupa bimbingan, nasihat baik jasmani maupun rohani kepada santri.agar kelak dapat berguna menjadi pedoman hidupnya untuk mencapai tujuan hidup dunia dan akhirat.

Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “orang yang mendalami agama Islam” kemudian  “orang yang beribadat sungguh-sungguh” orang shaleh.pada zaman pengaruh hindu budha di Nusantara sebutan ini lebih dikenal dengan cantrik,dimana para cantrik berdiam diri dalam sebuah asrama bersama sang guru dalam beberapa lama untuk memperdalam ilmu keagamaan. Melihat pesatnya perkembangan di dunia pesantren, maka akan kita dapati berbagai  metode dan materi pendidikan, maka kata ‘santri’ terbagi menjadi dua. Ada ‘Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’ . Sehingga tidak asing muncullah istilah  pondok modern dan juga pondok tradisional. Sedang dari segi tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri tetap’. Santri kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pondok pada waktu-waktu tertentu, yang saat ini masyhur dengan Istilah ‘Mustami’ yang berarti juga memperhatikan mendengar/menyimak.Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yangmendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat,maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggapsebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra”(suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikanmanusia baik-baik (Zarkasy, 1998: 106).

Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid (1997 : 19-20) mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan
dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang
agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur’an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalamarti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil denganmenekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasaArab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, ataumengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu (Zarkasy, 1998: 105-106).

Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu
berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.Pengertian pondok pesantren secaraterminologis cukup banyakdikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:

  1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalahlembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankanpentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
  2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembagakeagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran sertamengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
  3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku PolaPembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalahpendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi. antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid denganmengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok)untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulamamasa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalahadanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku(kitab kuning).
  1. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagailembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalahMuhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluanAhlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã T}arîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah.
  2. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalahlembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkanajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnyamoral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
  3. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu
    lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui olehmasyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerimapendidikan agama melalui sistem pengajian atau Pondok Pesantren yangsepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership)seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifatkharismatik serta independen dalam segala hal.Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenispesantren yang tetapmempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai intipendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembagapendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnyamoral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hariDari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwapesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmuagama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santriagar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitabkuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.

Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang asalusul pesantren, tentang kapan awal berdirinya bagaimana proses berdirinyadan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren pun seperti istilahkiai, santri yang menjadi unsurnya masih diperselisihkan. Mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren diIndonesia menurut Ensiklopedi Islam ada dua versi pendapat. Pertama;Pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Karena pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam awal penyiaran Agama Islam di Indonesia lebih dikenal dengan kegiatan tarekat, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiai, yang dalam melaksanakan suluk dilakukan selama 40 hari tinggal bersama kiai di sebuah Masjid untuk dibimbing dalam melakukan ibadah-ibadah tertentu. Di samping itu kiai juga biasanya menyediakan kamarkamar kecil yang letaknya di kiri kanan Masjid untuk tempat penginapan danmemasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama,yang kemudian aktifitas ini dinamakan pengajian. Dalam perkembangannyalembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembagapesantren.Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren yang kita kenalsekarang merupakan pengambilalihan sistem pendidikan yang diadakan olehorang-orang Hindu di Nusantara.

Pendapat ini didasarkan dengan adanya faktabahwa sebelum Islam datang ke Indonesia telah dijumpai lembaga pendidikanyang sama dengan pesantren, Lembaga itu digunakan untuk mengajarkanajaran agama Hindu dan tempat untuk membina kader-kader penyebar Hindu.Fakta lain, adalah bahwa sistem pendidikan semacam pesantren ini, tidak kitajumpai di negara-negara Islam, sementara justru lembaga yang hampir samadengan pesantren, dapat kita jumpai di negara-negara Hindu dan Budha,seperti India, Thailand dan Myanmar (Dewan Redaksi, 1993: 100).

Deskripsi tentang perkembangan pesantren tidak bisa terlepas denganpenyebaran dan penyiaran Agama Islam di bumi Indonesia ini, sehingga dalam mengkaji perkembangan pesantren ini dapat dikelompokkan menjadi
beberapa fase, yaitu :

  1. Fase masuknya Islam ke Indonesia
  2. Fase penjajahan Belanda
  3. Fase penjajahan Jepang
  4. Fase Indonesia merdeka (Zarkasy, 1998: 106)

Untuk lebih mengetahui perkembangan pesantren, akan penulis
jelaskan keadaan dan kondisi pesantren pada masing-masing fase tersebut.
1. Fase masuknya Islam ke Indonesia

Berdirinya dan perkembangan pesantren, tidak dapat dipisahkan dengan zaman Walisongo, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama kali adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi‟ul Awal 822 H bertepatan dengan 8 April 1419 M adalah orang pertama dari walisongo yang menyebarkan Agama Islam di Jawa (Wahjoetomo, 1997: 70-71), sehingga dapat disimpulkan bahwa lembaga pesantren itu sudah ada sejak abad ke-15.

Dalam perkembangan pesantren, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendirikan pesantren di Kembang Kuning, kemudian pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana, dan di sana misi keagamaan dan pendidikan mencapai sukses, sehingga setelahnya banyak bermunculan pesantren-pesantren yang didirikan oleh para santrinya, di antaranya adalah pondokpesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri, pesantren Demak olehRaden Fatah, pesantren Tuban oleh Sunan Bonang (Wahjoetomo, 1997:70-71).

Keadaan dan kondisi pesantren pada masa awal masuknya Islam tidak seperti yang kita lihat sekarang, fungsi dan kedudukannya pun tidak sekompleks sekarang, pada saat itu pesantren hanya berfungsi sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yang didalamnya merupakan ada unsure jihad yakni ibadahuntuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu dan amal untukmewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalamkehidupan sehari-hari(Wahjoetomo, 1997: 70-71).

  1. Fase Penjajahan Belanda

Penaklukan Belanda atas bangsa Indonesia, telah menyebabkan adanya proses westernisasi di berbagai bidang, termasuk pula dalam bidang pendidikan, dengan berdalih pembaharuan mereka menyelinapkan misi kristenisasi untuk kepentingan Barat dan agama Nasrani. Tujuan itulah yang kemudian memunculkan kebijakan-kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan pesantren, dengan peraturan-peraturan yang dibuat, mereka berusaha untuk menyudutkan dan meminggirkan lembaga-lembaga pendidikan yang ada, khususnya pesantren.Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan bahwa sekolahsekolah gereja diwajibkan sebagai sekolah pemerintah dan tiap-tiap daerah karisedenan minimal harus ada satu sekolah yang mengajarkan agama Kristen, agar penduduk pribumi lebih mudah untuk menaati undangundang dan hukum negara (Zarkasy, 1998: 110-111).

Pendidikan gereja ini didirikan oleh pemerintah Belanda dengantujuan selain mempunyai misi kristenisasi juga untuk menandingi lembagapendidikan yang sudah ada, seperti pesantren, Pondok Pesantren-Pondok Pesantren danpengajian yang sangat melekat di hati rakyat, karena pemerintah Belandamenganggap pendidikan yang telah ada sudah tidak relevan dan tidakmembantu pemerintah Belanda dalam misi kolonialisme (Zarkasy, 1998:111).Pemerintah Belanda berusaha menyudutkan lembaga pendidikanIslam dengan membuat kebijakan-kebijakan yang melarang kiai untukmemberikan pengajaran agama kecuali ada izin dari pemerintah.

Pemerintah Belanda pada saat itu melakukan penutupan terhadap Pondok Pesantren-Pondok Pesantren, majlis ta’lim dan pesantren-pesantren, tempat tempat ibadah lainya yang tidak memiliki izin dari pemerintah.Kebijakan ini ditekankan karena pemerintah Belanda melihat adanyakekhawatiran dengan menguatnya gerakan nasionalisme-islamismedengan munculnya persatuan pondok-pondok pesantren dan lembagaorganisasi pendidikan Islam, dan juga perkembangan agama Kristen yangselalu banyak  mendapatkan reaksi keras dari rakyat (Zarkasy, 1998: 111).

Kebijakan-kebijakan kolonial yang senantiasa berusaha untuk menghambat dan bahkan menghancurkan pendidikan Islam, telah menyebabkan kekhawatiran, kemarahan, kebencian dan pemberontakan kepada pemerintah Belanda yang oleh kalangan pesantrendimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi, yaitu :

  1. ‘Uzlah, pengasingan diri, menyingkir ke desa-desa terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial. Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindarkan dari kebijakan-kebijakan kolonial Belanda, juga untuk menjaga diri dari pengaruh moral dan kebudayaan yang destruktif.
  2. Bersikap non kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diamdiam, hal ini dilakukan oleh para kiai yang mengajarkan pendidikankeagamaan dengan menumbuhkan semangat jihad para santri-santrinya
    untuk membela Islam dan menentang penjajah. Dengan fatwafatwanya semacam membela negara dari ancaman penjajah, lebih lagikafir adalah bagian dari iman, bahkan sampai fatwa yangmengharamkan segala sesuatu yang berasal dan berbau barat seperti,memakai celana, dasi, sepatu dan lainnya.
  3. Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda, dengan silih berganti selama berabad-abad kalangan pesantren senantiasa berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara ini sehingga lahirlah
    nama-nama pejuang besar yang berlatar belakang santri seperti Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Sultan Agung, Ahmad Lucy (Pattimura) dan lainnya (Wahjoetomo, 1997: 77-78).

Keadaan pesantren pada masa penjajahan Belanda banyak mengalami kemunduran disebabkan adanya tekanan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap pesantren. Sehingga pesantren menjadi terpinggirkan, dan pesantren tidak bisa konsentrasi penuh dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga sosial, karena pesantren harus ikut berjuang dalam rangka memerangi kolonialisme Belanda dari bumi nusantara ini. Namun di sisi lain, hal ini menunjukkan daya tahan pesantren.

Walaupun pemerintahBelanda secara maksimal berusaha untuk membatasi gerak pesantrenmelalui tekanan, ancaman, dan kebijakan yang sangat merugikanpesantren ternyata pesantren masih tetap eksis di tengah-tengah geloraperjuangan melepaskan diri dari kekangan penjajah Barat (Belanda)Bahkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, lahir
kegairahan dan semangat baru dari kalangan muslim, pesantren berusaha keluar dari ketertinggalannya, dipelopori oleh para kiai muda yang baru menyelesaikan studinya di Mekah, berusaha membuka sistem pendidikan yang sebanding dengan sistem sekolah, yaitu sistem Pondok Pesantren. Dengan sistem ini pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat, dan mampu menyaingi sekolah-sekolah Belanda seperti contoh pesantren Tebu Ireng yang memiliki lebih dari 1500 santri (Wahjoetomo, 1997: 77- 78).Selain itu, kaum santri juga mengalami tumbuhnya kesadaran untuk bersatu dan mengatur dirinya secara baik, sehingga bermunculan organisasi-organisasi Islam, seperti SI (Serikat Islam), Muhammadiyahdan NU. Organisasi-organisasi itu bertujuan untuk membela danmeningkatkan kualitas beragama, bermasyarakat dan bernegara.

Pesantren terdiri dari lima elemen pokok yaitu kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan yang membedakannya dengan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutklak kepada kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepadasetiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga mencakup penghormatn kepada para ulama sebelumnya dan, a fartiori, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Seiring dgn laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yg digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.

Kepatuhan ini, bagi pengamat luar tampak lebih penting dari pada usaha menguasia ilmu; tetapi bagi kiyai merupakan bagian integral ilmu yang akan dikuasai. Meskipun materi yang dipelajarinya terdiri dari teks tertulis, namun penyampaiannya secara lisan oleh para kyai adalah penting. Kitab dibacakan keras-keras oleh kyai di depan sekelompok santri, sementara para santri yang memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan sang kyai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun ma’nawi (makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit kitab itu. Kiyai jarang menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca saja dari awal sampai akhir. Namun, dalam lingkungan kecil tamatan pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari kerelevansian dan kekiniannya, baik secara historis maupun kultural.

Mayoritas pesantren sekarang menjalankan sistem Pondok Pesantren. Ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan ijazah. Namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan metode tradisional, dimana beberapa santri belajar kitab tertentu di bawah bimbingan sang kyai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka mendapat ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kyai yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Disamping mengajarkan kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relatif sederhana.

Di pesantren, kitab kuning umumnya diajarkan dengan dua sistem, yaitu sistem sorogan dan bandongan. Pada pengajaran dalam sistem sorogan, santri satu per satu secara bergiliran menghadap kyai dengan membawa kitab tertentu. Kyai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri mengulangi bacaan kyainya. Biasanya sistem sorogan dilakukan oleh santri yang masih yunior dan terbatas pada kitab–kitab yang kecil saja.Sistem sorongan  dalam pengajian kitab kuning merupakan bagian paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional sebab system ini menuntut kesabaran, keinginan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari santri. Sistem sorongan terbukti sangat efektif taraf pertama bagi seorang santri yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini  memungkinkan, seorang kyai mengawasi, menilai, membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai bahasa Arab.

Adapun sistem bandungan adalah pengajaran kitab kuning secara klasikal. Semua santri menghadap Kyai bersamaan. Kyai membacakan isi kitab itu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan Kyai di pinggir halaman kitabnya. Dalam sistem bandongan soerang murid tidak harus menunjukkan bahwa ia telah mengerti pelajaran yang sedang di hadapi. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Sistem bandongan, kerena dimaksudkan untuk santri-santri tingkat menengah dan tinggi hanya efektif bagi murid-murid yang telah mengikuti sistem sorongan secara intensif.

Pengajaran khasanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik merupakan salah satu unsur terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keIslaman, terutama yang bersifat kajian- kajian klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karateristik yang merupakan ciri khas dalam proses belajar mengajar di pesantren. Untuk mendalami kitab-kitab klasik tersebut, menurut Nurcholish Madjid biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau lebih dikenal dengan sorogan dan bondongan. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan, sorongan adalah pengajian yang merupakan permintaan seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab tertentu. Pengajian dengan sistem sorongan ini biasanya diberikan kepada santri-santri yang cukup maju khususnya yang berminat menjadi kyai.

Santri-santri selama di pesantren diajarkan kitab-kitab klasik, yang lebih dikenal dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari proses belar-mengajar di pesantren sangat penting dalam membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas beragama) pada diri santri (ṭằlib).

Berdasarkan uraian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa metodologi pengajaran kitab kuning ialah: suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui secara sistematis dan terformulasi, dan menjadi alat bagi guru dalam menyampaiakan tujuan pengajaran kitab kuning, dan memudahkan bagi santri atau santri mencerna kitab kuning dan menerapkannya.

Terhadap kitab kuning ada tiga sikap yang ditunjukkan para peminat tsudi Islam. Pertama, sikap menolak secara apriori terhadap semua kitab kuning dengan alasan bahwa pemikiran ulama yang tertuang dalam kitab-kitab tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan hidup zaman modern. Kedua, sikap menerima sepenuhnya dengan alasan bahwa pendapat-pendapat ulama yang terdapat di dalamnya sudah dianggap baku dan telah disepakati secara ijmak oleh kaum muslimin. Sikap ini tampak pada diri para pendukung mazhab fikhi tertentu.

Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan suatu lembaga formal untuk mengajarkan kitab kuning kepada peserta didik, baik pesantren maupun Pondok Pesantren.Salah satu tradisi pengembangan ajaran Islam adalah dengan cara memberikan bimbingan kepada para peserta didik untuk mempelajari kitab kuning. Kitab kuning memberikan arti agama seluas-luasnya. Ini terbukti dengan banyaknya pendapat dalam satu masalah agama, dan kitab kuning juga merupakan tempat merujuk kepada permasalahan agama yang tidak kita pahami dari Al-Quran maupun al-SunnahKalau dilihat secara teliti, kitab kuning memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membimbing ilmwuan muslim. Ini dibuktikan dengan banyaknya intelektual muslim yang merujuk kepada kitab kuning, walaupun sekarang sudah banyak kitab kuning terjemahan bahasa Indonesia.

Titik esensi dan sumber pokok dari diskursus kitab kuning sebagai literature keagamaan Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad  berwujud Al–Quran. Esensi dan sumber pokok ini kemudian dilengkapi dengan sumber kedua, yakni al-Sunnah atau hadits Rasulullah s.a.w. Wahyu yang berasal dari Allah s.w.t adalah sumber pengetahuan yang mutlak; dan hanya Nabi Muhammad saw yang dilimpahi rahmat untuk menerima wahyu tersebut via malaikat. Pada pihak lain, hadits sebagai sumber diskursus kitab kuning berada pada level kedua dari segi kemutlakannya, khususnya hadist shahih mutawatir.

Oleh karena itu peran Pondok Pesantren dan pesantren sangat menentukan nasib kitab kuning untuk masa yang akan datang. Tetapi jelas, bahwa wahyu dan hadits bukan satu–satunya sumber diskursus. Akal kemudian juga memainkan perannya. Akal dalam batas–batas tertentu memainkan peran yang tidak bisa dikesampingkan dalam menafsirkan, memperjelas, mengembengkan dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu dan hadis. Seperti bisa diharapkan, apa yang bisa dihasilkan oleh akal bukanlah sesuatu yang mutlak; ia tak lebih dari pada sekedar hasil ijtihad, yang bisa benar dan bisa salah terlepas dari tingkatannya, bisa berbeda dari satu individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lainnya.

Secara esensial seluruh kitab kuning mendasarkan diskursusnya pada epistimologi ini. Namun, pada tingkat yang lebih praktis, hampir seluruh kitab kuning yang ditulis para ulama atau pemikir asli Indonesia, selain mendasarkan diri pada ketiga sumber tersebut, juga berpijak pada hasil–hasil pemikiran ulama yang diakui otoritasnya. Hampir tidak diragukan lagi kitab kuning mempunyai peran besar tidak hanya dalam transmisi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya dikalangan komunitas santri, tetapi juga di tengah masyarakat muslim Indonesia secara keseluruhan.

Dari beberapa sumber yang penulis dapatkan, minat belajar santri merupakan harapan santri untuk mengenal, memahami, mengembangkan dan memanfaatkan potensi diri santri baik fisik maupun psikis yang berkaitan dengan kegiatan belajarnya. Sedangkan Pembelajaran Kitab Ta’lim Muta’lim adalah salah satu yang yang dianggap menjadi faktor dalam meningkatkan Akhlak Santri Pondok Pesantren.

 [1][11]Op cit, Saifuddin Zuhri dkk hal 127

Bagikan:

Berikan Komentar

Chat Kami
1