Bulk Images

Diposting oleh:

Sekolah Sebagai Agen Perubahan

SEKOLAH SEBAGAI AGEN PERUBAHAN

Oleh : Hery Kirmono

Lembaga pendidikan merupakan organisasi yang bertujuan untuk membentuk insan yang berkualitas secara ilmu dan akhlak, oleh karena itu lembaga pendidikan mendapat sebutan agent of change dengan tugas untuk merubah tingkah laku seseorang menjadi lebih dewasa dan memperoleh kehidupan yang lebih baik untuk masa depannya. Ketika berbicara agen tentu ada hubungannya dengan konsumen, di sini artinya lembaga sekolah berfungsi sebagai agen dan siswa serta masyarakat sebagai konsumen. Agar konsumen mau datang untuk memenuhi kebutuhannya maka agen harus mampu memberikan pelayanan dan meyakinkan bahwa sekolah (agen) mampu mencukupi semua kebutuhan sesuai keinginan konsumen. Jadi agen perlu menjalin hubungan yang harmonis dengan konsumennya, yang artinya rasa kepercayaan antara keduanya harus dipelihara.

Hubungan dua arah ini harus diciptakan sedemikian rupa agar produk yang akan ditawarkan oleh agen atau program-program yang disodorkan oleh Lembaga Pendidikan (Sekolah) kepada masyarakat dapat diterima secara tepat dan dilaksananakan oleh masyarakat secara baik. Jadi efektif tidaknya proses pembelajaran sangat tergantung bagaimana hubungan antara keduanya, terutama sampai sejauh mana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan. Kepercayaan merupakan faktor paling utama untuk menarik siswa belajar ke sebuah Lembaga Pendidikan. Lembaga Pendidikan hendaknya sebagai tempat siswa dan guru bekerja untuk mencapai sebuah tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka, jujur serta hubungan yang harmonis, lebih utama dari pada kompetensi.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses membangun peradaban bangsa, maka pendidikan harus berarah pada konsep perubahan, menumbuh kembangkan anak-anak bangsa menjadi pribadi yang baik (beriman, bertakwa, berbudi pekerti luhur, memiliki nilai moral), mampu berkomunikasi, bergaul dengan baik, memiliki kecakapan hidup dan berbudaya.

Nelson Mandela  mengatakan bahwa Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. (Education is the most powerful weapon we can use to change the world). Oleh karena itu Pendidikan merupakan topik yang terus aktual sepanjang jaman. Pendidikan merupakan topik yang menarik untuk diperbincangkan, didiskusikan, dicermati, diteliti, dikaji, dikritisi, dan  dikembangkan. Pendidikan bisa dijadikan pintu masuk menuju masa depan bagi setiap orang yang mempersiapkan dirinya sejak dini.

Pendidikan merupakan proses ke arah kearifan, (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Pendidikan juga merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa di dunia Internasional. John Naisbit dan Particia Aburdence, mengatakan tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, negara miskin dapat bangkit tanpa sumber daya alam yang melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam sumber daya manusia.

Pendidikan bukan hanya sekedar teknik pengolahan informasi saja, namun pendidikan merupakan usaha yang kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan dan kebutuhan anggotanya, sehingga mampu mengantarkan kepada manusia ke dalam kehidupannya sesuai dengan norma sosial dan agamanya, yang pada akhirnya tercipta integrasi bangsa, serta  menjadikan negara yang  kuat dan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Pendidikan juga sebagai kunci kemajuan sebuah bangsa, pendidikan yang kurang bermutu akan menghasilkan generasi menjadi lemah.

Kegagalan pendidikan yang paling fatal ketika produk didik tak lagi memiliki kepekaan nurani yang berlandaskan moralitas, sense of humanity. Padahal substansi pendidikan adalah memanusiakan manusia, menempatkan kemanusiaan pada derajat tertinggi dengan mamaksimalkan karya dan karsa.[1] Pendidikan tidak hanya terbatas pada usaha pematangan aspek kognitif dan psikomotorik saja melainkan termasuk usaha pematangan aspek afektif yang berhubungan erat dengan transfer of value.[2] Dalam hal ini dapat dilakukan melalui keteladan dengan  pemakaian bahasa yang benar serta perilaku pendidik yang baik.

Dengan demikian guru harus mampu memberikan contoh yang baik serta memberikan motivasi kepada muridnya. Peran guru dalam memberikan keteladanaan dan motivasi merupakan pembelajaran efektif yang dibutuhkan pada saat sekarang ini, mengingat tingkat kepekaan anak terhadap terhadap lingkungan sekitar dan tingkat motivasi belajar menurun. Lebih-lebih dalam hal menuntut ilmu agama, padahal hidup itu perlu keseimbangan antara pengetahuan dan ilmu agama.

Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat mencari ilmu dunia,[3] baik orang tua maupun anaknya semangat dalam menuntut ilmu dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi dengan harapan setelah selesai sekolah nanti mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak. Hal ini yang menyebabkan ketidak seimbangan kebutuhan jasmani dan rohani, maka tidak mengherankan mereka dalam bekerja nanti hanya berpikir bagaimana mereka memperoleh uang sebanyak mungkin, namun tidak memikirkan dari mana dan bagaimana akibat apa yang mereka lakukan nanti.

Dalam hal ini, maka guru mempunyai peran yang signifikan dalam keberhasilan sebuah pendidikan. Guru sebagai ujung tombak masa depan bangsa, karena itu seorang guru tidak hanya cukup dengan menguasai pelajaran yang mereka ajarkan, memahami, metode dan keterampilan mengajar saja, akan tetapi ada faktor lain yang menjadi pondasi dari kesemuanya itu, yaitu jiwa guru. Dalam tasawuf guru sering disebut sebagai seorang mursyid yang berusaha menularkan penghayatan (transliterasi) ahklak dan/atau kepribadiannya kepada peserta didiknya, yang berupa etos ibadahnya, etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba  “lillahi Ta’ala”. Dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa guru merupakan model atau sentral indikasi diri, yakni sebagai pusat panutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.[4]

Ada sebuah adagium bahwa metode lebih penting daripada pelajaran, pengajar lebih penting dari metode, akan tetapi dibalik itu semua ruh guru lebih penting daripada guru itu sendiri. Guru adalah sebagai pengemban amanat dan juga sebagai agent of change,[5] maka keberadaan guru tidak bisa digantikan dengan teknologi apapun. Niat yang ikhlas dalam mengajar, menasehati murid, berakhlak baik, serta doa seorang guru dapat menentukan keberhasilan para murid-muridnya kelak di kemudian hari. Dalam artikelnya Dr. Ardian Husaini yang berjudul “Menjadi Guru Yang Beradab” dijelaskan guru dalam pandangan Islam adalah mu’allim dan mu’addib yang harus memiliki ilmu dan adab. Lebih lanjut antara ilmu dan adab ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan karena ilmu merupakan sesuatu yang nanti akan diajarkan oleh seorang murid sedangkan adab merupakan perhiasan ilmu, jadi seorang guru harus memiliki kedua hal tersebut.

Namun hal ini sering dilupakan oleh para guru, terkadang guru hanya merasa sebagai pengajar semata namun lupa akan tanggung jawabnya terhadap perbaikan ahklak dan adab murid-muridnya. Murid adalah manusia yang terdiri dari jasmani dan ruhani yang keduanya butuh adanya keseimbangan, karena itu guru tidak hanya cukup menyampaikan materi pelajaran saja namun juga bertanggung jawab akan perbaikan jiwa terhadap murid-muridnya. Guru sebagai agen penanam adab maka sebelum memberbaiki jiwa murid guru harus terlebih dahulu membenahi jiwanya sediri. Penyataan ini mengartikan untuk memperbaiki dunia pendidikan secara keseluruhan maka yang harus  diperbaiki terlebih dahulu adalah jiwa atau ruh guru dibanding dengan gedung-gedung, buku-buku maupun teknologi modern. Jiwa  atau ruh guru ini lebih penting karena untuk mempersiapkan dalam mengadapi perkembangan zaman yang terus berkembang, sehingga ketika munculnya teknologi para guru dapat memanfaatkan dengan baik dan benar bukan malah merusak perkembangan jiwa murid-muridnya.

Dalam kitab Taisirul Khallaq fii ‘Ilmi Akhlaq, Hafizh Hasan Mas’udi menekankan bahwa guru adalah dalilu tilmidzi (panutan/tuntunan murid), maka guru dituntut memiliki pola pikir yang benar serta amaliah untuk bisa diteladani agar murid tidak melakukan kesalahan. Guru harus beradab terlebih dahulu supaya dapat membimbing serta menjadi panutan terdapap murid-muridnya. Adab merupakan pilar pokok dalam mengurai berbagai persoalan, hilangnya sebuah adad dalam dunia pendidikan adalah merupakan awal dari berbagai persoalan dalam kehidupan manusia, karena manusia sebagai hamba Allah memiliki tugas sebagai pemimpin dunia yang harus mampu menjaga dunia untuk  kesejahteraan umat, serta mampu mempertahnggung jawabkan segala perbuatannya nanti dihadapan sang Pencipta.

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim diterangkan pula bahwa guru harus memiliki sifat ihklas dalam melaksanakan tugas, karena keihklasan tersebut merupakan sarana paling ampuh bagi kesuksesan para peserta didiknya. Guru harus pula memilki sifar Wara’ yang artinya menjaga diri dari segala sesuatu yang berbau syubhat agar tetap terjaga kepribadian dan keilmuannya. Guru juga harus menjalin hubungan dengan muridnya layaknya seorang bapak dengan anaknya, membentuk lingkungan yang di dasari oleh oleh keharmonisan guna tercapainya suatu tujuan.

Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?

Ada berbagai permasalahan sistem pendidikan di Indonesia, terutama pada lembaga pendidikan swasta atau yayasan. Kepengurusan lembaga pendidikan swasta atau yayasan pada umumnya lebih mengutamakan kekerabatan atau keluarga yayasan, sehingga sering kali mengabaikan mutu pendidikan. Hal tersebut akan mengakibatkan program-program yang direncanakan menjadi terhambat. Menurut Sekertaris Ditjen Pendis Kementerian Agama Republik Indonesia sebagaimana dirilis dalam webset resmi kemenag RI, sekarang ini banyak guru yang tidak sibuk mengajar akan tetapi terlena dengan berkas-berkas sertifikasi.[6]

Pada akhirnya lembaga pendidikan hanya mampu melahirkan para peserta didik yang tidak atau kurang memiliki kepribadian/moral. Sering kita temui pada saat para mahasiswa melakukan ujian, mereka saling menyontek, dan hal ini seakan-akan sudah menjadi hal yang biasa. Kebiasaan ini berpotensi terjadinya kecurangan-kecurangan dalam kehidupan nyata, baik dalam dunia akademis, politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Mungkin sudah tidak asing lagi kita mendengar bahwa dunia akademis tidak memperbaiki sistem pendidikan namun malah terjadi jual beli nilai maupun ijazah, dalam dunia politik bukan menawarkan program kerja namun terjadi jual beli suara, lembaga pengadilan tidak bagaimana meneggakan keadilan namun malah jual beli hukum. Ketidakadilan ini yang akibatnya berpotensi pada disintegrasi bangsa. Nelson Madela juga pernah berkata untuk menghancurkan generasi muda tidak perlu dengan bom namun cukup dengan cara lembaga pendidikan mempermudah kelulusan bagi siswanya tanpa memperhatikan mutu.

Kearifan lokal kehilangan substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya sekedar simbol tanpa memiliki arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh serta hanya nampak sebagai formalitas belaka, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi  dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Kenyataan ini mengakibatkan generasi bangsa sulit untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahteraan bangsa. Nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia telah ternodai dan memudar.

Masa remaja adalah masa kehidupan yang sangat strategis, penting serta memiliki dampak luas dalam perkembangan masa depan. Pada masa ini remaja mengalami masa perubahan baik perubahan secara fisik maupun perubahan pola pikir, rasa ingin tahunya sangat tinggi maka pada masa ini mereka butuh pembimbing agar tidak salah arah maupun salah aturan.

Teknologi yang tadinya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan untuk membantu pekerjaan manusia, mulai bergeser mengantikan pekerjaan manusia. Minimnya pengawasan orang tua terhadap anaknya dalam pengunaan gawai dan kurangnya bimbingan terhadap remaja memudahkan mereka untuk menonton berbagai macam hal yang berbau pornografi. Pemakaian gawai yang bebas juga mempermudah remaja menemukan teman baru yang berlawanan jenis. Maka bukan rahasia lagi bahwa banyak sekali kasus anak pacaran seperti layaknya suami istri, yang akan merusak perkembangan jiwa mereka.

Thomas Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cartland University) mengungkapkan ada 10 tanda zaman yang perlu kita waspadai saat ini, yaitu:

  1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;
  2. Pengunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku;
  3. Pengaruh Peer Group (geng) dalam tindak kekerasan menguat;
  4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti pengunaan narkoba, alkohol dan seks bebas;
  5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
  6. Menurunya etos kerja;
  7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
  8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
  9. Membudayanya kebohongan/ketidak jujuran;
  10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian.

Merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita juga dikarenakan dalam praktiknya pendidikan hanya menekankan aspek konigtif semata dan mengabaikan pembinaan nilai-nilai moral. Padahal penegakkan ahklak menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan, lembaga pendidikan dari pra-sekolah dasar hingga tingkat universitas yang tersebar di berbagai lokasi, belum menunjukan perilaku kaum terdidik baik itu pelajar, mahasiswa, guru, dosen, ataupun tenaga pendidikan, masih jauh dari nilai-nilai agama.[7] Bahkan pendidikan agama selama ini hanya berorientasi pada persoalan teoritis saja akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran sehingga tidak mampu membentuk pribadi yang bermoral. Pendidikan yang hanya mengedepankan aspek kognitif saja akan melahirkan generasi pengafal bukan generasi pengamalan. Perkembangan jaman dan majunya teknologi telah memberi dampak negatif, yang mengakibatkan mereka terjerat budaya hedonis dan materialistis.

Fenomena tersebut menunjukan bahwa ada beberapa kelemahan dan kemuduran sistem pendidikan yang mewarnai dunia pendidikan di tanah air kita selama ini antara lain:[8]

  1. Merebaknya budaya kekerasan dan anarkhisme di dalam lingkungan pendidikan kita yang tak juga mendapatkan jalan keluar. Kekerasan itu mengakibatkkan penderitaan baik psikologis maupun fisik dan hal itu banyak menimpa terhadap generasi penerus bangsa ini.
  2. Lingkungan pendidikan yang hanya beorientasi pada materialisme, melahirkan output mata duitan dan tidak bermoral.
  3. Pengajaran agama dan moral hanya sebagai ilmu pengetahuan teoristis belaka, bukan sebagai tuntutan akhlak spiritual yang harus diamalkan.
  4. Para wakil rakyat yang menaruh planning dan kebijakan yang sering irasional dan tak bermutu dalam membahas situasi pendidikan nasional.
  5. Managemen pada sebagian lembaga pendidikan, pada kepengurusan lebih mengutamakan kekerabatan atau keluarga sehingga sering terjadi pengabaian mutu pendidikan.

Seiring  dengan perkembangan zaman dan majunya teknologi telah memunculkan hal baru dalam kehidupan manusia, gaya hidup yang baru telah merambah ke masyarakat luas. Tanpa disadari masyarakat menjadi pecandu teknologi,  dan kehadiran perkembangan teknologi bagai pisau bermata dua, yaitu satu sisi memiliki manfaat positif namun disisi lain berdampak pada efek negatif.

Perkembangan teknologi juga turut serta merubah terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Maraknya pembelajaran jarak jauh yang berbasis teknologi informasi menyebabkan pergeseran peran guru sebagai suri tauladan dengan digantikan teknologi, padahal seharusnya kehadiran teknologi bukan untuk menggantikan fungsi dan peran manusia, namun kehadiran teknologi hanya sekendar membantu pekerjaan manusia dan tetap meningkatkan derajat manusia. Pembelajaran jarak jauh dan maraknya lembaga pendidikan dan bimbingan belajar  yang berbasis teknologi informasi menjadi tantangan tersendiri bagi sekolah maupun para guru. Hadirnya teknologi mempermudah para siswa untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan informasi, yang pada akhirnya kehadiran guru tidak begitu diharapakan. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa cukup melalui internet mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan.

Semula kehadiran teknologi hanya sebagai media pembatu dalam proses pembelajaran agar pengetahuan mudah dimengerti, namun sekarang sudah mulai menggantikan profesi guru, padahal hakekat pendidikan tidak hanya mengajarnya berbagai ilmu pengetahuan namun juga untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh. Karena itu tugas guru tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan saja namun ada yang lebih penting dari itu yaitu melakukan bimbingan kepribadian terhadap siswa, agar kelak mereka mampu meyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Pembelajaran dengan metode e-learning yang terus berkembang, sangat mempengaruhi pola pikir anak yang kurang baik, terutama pada fase adolescence dengan rentan usia antara 17 tahun  hingga 21 tahun, karena psikologi pada usia ini mereka ingin mencaari kebebasan dan mudah terpengaruh dengan teman yang lain.

Akan tetapi di era globalisasi dan perkembangan teknologi menjadi penyebab banyak bermuculannya pembelajaran jarak jauh dengan sistem teknologi dan infomasi yang susah untuk dikendalikan. akibatnya interaksi antara guru dan siswa menjadi berkurang, hal ini akan membawa pengaruh buruk terhadap anak-anak indonesia. Hilangnya tata krama yang tadinya menjadi ciri kebangsaan dan dan dikenal sebagai bangsa beradap dan keramah tamahannya serta menjadi  pembeda dengan bangsa-bangsa lain, namun sekarang sudah tidak terlihat lagi. Anak-anak menjadi lebih cuek terhadap guru, bahkan anak-anak lebih sedih ketika kehilangan gadget mereka dari pada kehilangan guru mereka. Kerusakan ahklak akan melahirkan individu-individu yang tidak punya rasa tanggung jawab seperti lahirnya pemimpin-pimimpin yang tidak adil, para birokrat yang harusnya melayani masyarakat namun malah minta dilayani, para wakil rakyat yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat justru memanfaatkan posisinya untuk memenuhi kepentingan keluarga atau kelompoknya. Sudah bukan rahasia lagi apabila sekarang ini banyak orang yang memiliki pengetahuan namun kepandaianya bukan menyebabkan keberanianya memasuki lapangan kerja namun sebaliknya malah menimbukan ketakutannya.

Kenyataan ini sangat berbeda dengan pembejalaran yang dilakukan dengan tatap muka secara langsung, pembelajaran secara langsung siswa bisa belajar akan etika-etika dalam bersosialisai, adanya hubungan kasih sayang antara guru dan siswa, dan hal itu tidak pernah diperoleh pada saat mereka pelajat secara online. Belajar dengan tatap muka secara langsung selain memberikan materi guru juga bisa sambil memberikan motivasi, serta berbagai nasehat sehingga anak tidak terjerumus pada kehidupan yang salah, guru bisa langsung memberikan bimbingan serta membentuk pola pikir anak untuk mempersiapkan masa depannya.

Bimbingan kepada murid sangat diperlukan agar murid mampu mengenal dirinya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, serta mampu menghadapi kenyataan dan memiliki stamina emosional yang baik. Mereka perlu dibimbing kearah terciptanya hubungan pribadi yang baik dengan temanya di mana perbuatan dan perkataan guru dapat menjadi contoh yang hidup. Guru perlu menghormati pribadi anak, supaya mereka menjadi tahu akan hak-hak orang lain.[9]

Realita yang kita alami sekarang ini sangat memprihatinkan, karena mereka akan kehilangan sosok pembimbing, sehingga menjadikan tidak ada kestabilan antara kejiwaan dan fisik mereka, maupun tidak adanya kesimbangan antara ilmu pengetahuan dengan perilaku mereka. Adanya ketidak seimbangan menyebabkan gangguan dalam hidupnya seperti luka batin, despresi, rasa kekawatiran, dan lain-lain. Hal ini memunculkan orang banyak memiliki pengetahuan namun disalahgunakan. Maka tidak mengherankan ketika ilmu pengetahuan tanpa diimbangi oleh nilai moral Cuma akan melahirkan pola pikir yang materialistis dan maraknya kasus-kasus korupsi di tanah air.

Ternyata apa yang tertulis pada lempengan tanah liat yang berasal dari tahun 3800 masehi pada museum Kontantinopel yang berbunyi We haven fallen upon evil time and we world has maxed very old and wicked. Politik are corrupt. Children are no longer respectful to their parents  yang artinya adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sangat tidak hormat kepada orang tuanya,[10] terjadi pada saat sekarang ini.

Berbagai kasus mulai mencuat, dari yang nilainya ratusan juta hingga triliunan rupiah. Kasus mega korupsi dan telah merugikan negara puluhan triliun rupiah tersebut, diantaranya; kasus Jiwasraya dengan kerugian negara 13 triliun rupiah, kasus ASBRI dengan kerugian negara sebesar 10 triliun rupiah, dan masih banyak kasus-kasus yang lainya. Oleh karena itu Kemendikbud (2010) menyebutkan dalam buku induk kebijakan Nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010-2025 merupakan upaya  perwujudkan amanat Pancasila dan pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa.[11]

Untuk mewujudkan cita-cita amanat Pancasila dan Pembuakaan UUD 1945 serta untuk mengatasai permasalahan bangsa saat ini, pembangunan karakter menjadi prioritas utama Pemerintah. Semangat ini lebih lanjut ditegaskan dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) tahun 2005-2015 yang mana pendidikan karakter diposisikan sebagai landasan dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu: mewujudkan masyarakat berahklak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

Dari berbagai permasalahan tersebut maka harus segera ditanggapi secara serius dan dipecahkan secara komprehensif dan terpadu demi suksesnya pendidikan yang juga berarti suksesnya pembangunan bangsa. Sekolah/kampus harus mampu menjadi medan ilmu yang harus terus melakukan pembaharuan yang berkesinambungan dan bersikap kritis terhadap model pendidikan yang diterapkan bagi mereka. Kampus merupakan tempat efektif untuk menanamkan serta menumbuh kembangkan rasa kebangsaan, semangat nasionalisme, nilai kedisiplinan dan militansi menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, serta menanamkan nilai-nilai bangsa yang perlu dilestarikan.[12]

Sebuah perguruan tinggi dituntut untuk berperan menjadi penyelaras perubahan sosial. Sebagai penyelaras, perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi motor dinamika sosial sekaligus pengendali perubahan sosial. Perguruan tinggi dapat melahirkan energi yang memicu gerak (dinamika), tetapi pada situasi yang lain dapat meredamnya. Intinya, perguruan tinggi harus memastikan perubahan sosial bergerak sesuai nilai fundamental yang diharapkan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 3, disebutkan azas tertinggi pendidikan tinggi adalah kebenaran ilmiah. Maka, peran sosial dan kultural perguruan tinggi mestinya disandarkan pada nilai tersebut. Dalam praktik, kebenaran itu dapat selaras dengan kebenaran positif yang berlaku di masyarakat, tetapi bukan tidak mungkin justru bertolak belakang. Ketika selaras, perguruan tinggi bertugas memperkuatnya. Ketika bertolak belakang, perguruan tinggi bertugas mengoreksinya. Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan masyarakat, jadi pendidikan tidak memiliki arti apabila pendidikan tidak singkron dengan budaya yang hidup masyarakat.

Dalam mewujudkan keberhasilan itu maka perlu adanya kerjasama atau hubungan yang baik dari berbagai pihak yaitu, antara lembaga pendidikan, masyarakat, guru, siswa. Orang tua siswa dan perbagai pihak lainya. Keterbukaan, kejujuran, kepercayaa, dan niat yang baik akan dapat jadi landasan yang kuat untuk menjalin hubungan dan kerja sama antara berbagai pihak. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah, antara ucapan dan perbuatan harus sesuai. Sehingga Beliau adalah guru yang terbaik, dan pendidikan yang diberikan Beliau dianggap berhasil, dengan bukti keberhasilan Beliau adalah lahirnya para ulama-ulama terkemuka yang tersebar keseluruh dunia.

                                                       DAFTAR PUSTAKA               

Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, Alfabeta , Bandung, 2009

Didi Supriadie dan Deni Darmawan, Komunikasi Pembelajaran, Remaja Rosdakarya, Cet.

Pertama, Bandung 2012.

Nanik Rubiyanto dan Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik Di Sekolah, Prestasi Pustaka,

Oktober 2010, hlm. 3-4

Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Cet. Lima belas, jakarta 2013

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, Alfabeta, Cet. Ketiga Bandung

Maret 2014

Hidayat Muslih, Guru Sertifikasi Versus Guru Inspiratif, Radar Banten, Rabu 2 Des 2015.

Majalah Gontor Safar-Rabiul Awal 1441/Oktober 2019 Edisi 06 Tahun XVII

Majalah Gontor Shafar-Rabiul Awal 1432/Febru ari 2011 Edisi 10 Tahun VIII

Majalah Gontor syawal-Dzulqa’dah 1440/Juli 2019 Edisi 03 Tahun XVII.

News.okezone.com. 17/04/2017, 14;30

[1] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, Alfabeta , Bandung, 2009, hlm. 29

[2] Majalah gontor Rajab-Syaban 1441/Maret 2020 Edisi 11 Tahun XVII, hlm. 48

[3] Majalah gontor syawal-Dzulqa’dah 1440/Juli 2019 Edisi 03 Tahun XVII, hlm. 24

[4] Didi Supriadie dan Deni Darmawan, Komunikasi Pembelajaran, Remaja Rosdakarya, Cet. Pertama, Bandung 2012, hlm. 53

[5] Majalah gontor Safar-Rabiul Awal 1441/Oktober 2019 Edisi 06 Tahun XVII, hlm. 06

[6] Hidayat Muslih, Guru Sertifikasi Versus Guru Inspiratif, Radar Banten, Rabu 2 Des 2015 hlm. 2

[7] Majalah Gontor Shafar-Rabiul Awal 1432/Februari 2011, Edisi 10 Tahun VIII, hlm.54

[8]Nanik Rubiyanto dan Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik Di Sekolah, Prestasi Pustaka, Oktober 2010, hlm. 3-4

[9] Oemar Hamalik, Prises Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Cet. Lima belas, Jakarta 2013, hlm.129

[10] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspekif Perubahan, Bumi Aksara, Jakarta 2011, Cet. Ketiga, hlm. 1

[11] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter  Konsep dan Implementasi, Alfabeta, Bandung, Cet. Ketiga Maret 2014, hlm.26

[12] News.okezone.com. 17/04/2017, 14;30

Bagikan:

Berikan Komentar

Chat PSB DH
1